MAKALAH
PENDIDIKAN
LINGKUNGAN HIDUP (PLH )
PEMBANGUNAN
PEMUKIMAN BERBASIS LINGKUNGAN DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
( Solusi
Untuk Mengurangi Kerusakan Lingkungan Akibat Pembangunan Pemukiman )
Disusun
Oleh:
Ami
Korniawati
NIM
4301411086
Pendidikan
Kimia
PRODI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS METEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh
tingkat pertumbuhan penduduknya. Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan
penduduk ini maka semakin tinggi pula kebutuhan lahan diperkotaan. Oleh karena
itu, tingkat kepadatan di kawasan perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada
dikawasan rural karena tingkat aktivitas penduduk diperkotaan yang
cenderung lebih tinggi. Perkembangan daerah urban mengubah lahan dengan
tutupan vegetasi menjadi permukaan yang kedap air dengan kapasitas penyimpanan
air yang kecil atau tidak ada sama sekali. Aktivitas yang paling dominan
terhadap penggunaan lahan adalah aktivitas bertempat tinggal (pemukiman).
Aktivitas ini memakan lebih dari 50% dari total lahan yang ada, sehingga
sekarang banyak bermunculan kawasan pemukiman dengan konsep vertikal untuk
mengurangi permasalahan akan keterbatasan lahan pemukiman.
Pemanfaatan ruang diperkotaan sudah sangat padat
dan sarat akan konflik kepentingan pemanfaatan lahan. Daya dukung lingkungan
seluruh wilayah pun telah terancam karena saat ini lebih dari 50 persen wilayah
perkotaan di Jawa diidentifikasi rawan krisis air (kekurangan air atau
kebanjiran). Banjir adalah bencana akibat kesalahan manusia yang paling sering
terjadi dan merata di Indonesia. Dampaknya lokal (terjadi hanya di satu
kelurahan atau desa), juga lebih luas seperti bencana yang baru-baru ini
terjadi yaitu di sepanjang Sungai Bengawan Solo yang menenggelamkan 8 (delapan)
Kabupaten. Bencana banjir merupakan kejadian alam yang dapat terjadi setiap
saat dan sering mengakibatkan kerugian jiwa, harta dan benda. Kerugian akibat
banjir adalah perhitungan kerusakan bangunan, kehilangan barang berharga,
hingga opportunity cost saat semua orang tidak bisa masuk kerja dan
sekolah. Banjir tidak dapat dicegah, namun hanya dapat dikendalikan dan
dikurangi dampak kerugian yang diakibatkannya. Berhubung datangnya relatif cepat,
untuk mengurangi kerugian akibat bencana tersebut perlu dipersiapkan penanganan
secara cepat dan tepat.
Pada umumnya, pembangunan lingkungan pemukiman
akan menghindari kawasan yang rentan terhadap banjir. Sejalan dengan
pertumbuhan kota dan permasalahan lahan, daerah perumahan baru dan pusat–pusat
kegiatan komersial berkembang dan meluas ke arah daerah yang rentan banjir yang
sebelumnya dihindari. Selain itu, kebutuhan lahan yang meningkat tajam,
tentunya mempengaruhi harga lahan di perkotaan. Bagi masyarakat yang mampu, hal
ini bukanlah sebuah permasalahan pelik, namun masyarakat kota tidak hanya
terdiri dengan masyarakat berpenghasilan menengah keatas (the have)
saja, melainkan juga terdapat kaum-kaum miskin (the have not) yang juga
butuh tempat tinggal. Pemenuhuan kebutuhan kaum miskin/ berpenghasilan rendah
untuk bertempat tinggal mempunyai area tersendiri, dimana area tersebut
mempunyai nilai lahan yang terjangkau namun tentunya dengan fasilitas dan
kondisi yang seadanya bahkan cenderung ‘buruk’ yang sering disebut sebagai
kawasan kumuh. Kawasan kumuh ini mempunyai permasalahan terhadap kondisi sosial
ekonomi yang rendah dan degradasi lingkungan. Keadaan lingkungan yang buruk
mengakibatkan suatu kawasan rawan akan bahaya dan bencana, yaitu bencana
banjir, resiko kebakaran dan penyakit endemik.
1.2. RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat
dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimakah
kondisi pembangunan pemukiman saat ini ?
2. Adakah
kaitan antara pembangunan pemukiman dengan
kelestariaan sumber daya alam ?
3. Bagaimanakah
kaitan antara pembangunan dengan sumber daya alam ?
4. Bagaimanakah
solusi untuk menangani masalah pembangunan pemukiman dalam kaitannya dengan
keleatarian Sumber Daya Alam?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.
DINAMIKA PEMBANGUNAN PEMUKIMAN MASYARAKAT
Rumah dan fasilitas pemukiman yang memadai merupakan kebutuhan
pokok yang sangat penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya sebagai
manusia.Di negara-negara sedang berkembang masalah kualitas perumahan dan
fasilitas pemukiman di kota-kota besar amat terasa. Ini disebabkan oleh
pertambahan penduduk kota yang sangat pesat karena migrasi dan terbatasnya
lahan yang diperuntukkan bagi pemukiman yang memadai.
Terbatasnya dana dalam penataan dan pengelolaan kota dalam
menghadapi masalah kependudukan tersebut di atas juga telah menyebabkan
fasilitas perumahan dan pemukiman menjadi terbatas dan mahal pembiayaannya. Di
daerah perkotaan, warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas
perumahan dan pemukimannya secara memadai adalah mereka yang berpenghasilan
rendah.
Abrams (1964) misalnya mengatakan bahwa pada waktu seseorang
dihadapkan pada sebuah masalah mengenai pengeluaran yang harus dilakukan untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, makan, berpakaian, dan pengobatan untuk
kesehatan, maka yang pertama dikorbankan adalah pengeluaran untuk rumah dan
tempat tinggalnya. Masalahnya bagi mereka yang berpenghasilan rendah, adalah
tidak dapat mengabaikan begitu saja kebutuhan akan rumah dan tempat tinggal
karena masalah ini penting dalam dan bagi kehidupan mereka, tetapi mereka juga
tidak mampu untuk mengeluarkan biaya prioritas bagi pengembangan dan
pemeliharaan rumah dan lingkungan pemukimannya agar layak dihuni. Semakin kecil
bagian dari penghasilan yang dapat disisihkan guna pembiayaan pemeliharaan
rumah dan fasilitas pemukiman, maka semakin kumuh kondisinya.
Karena itu dari berbagai pengamatan mengenai pemukiman kumuh yang
ada, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari pemukiman kumuh adalah:
1. Fasilitas umum
yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta
penggunaan ruang ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang
mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan
volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh
sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu
satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas
kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan
karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT
atau sebuah RW.
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagaisebuah RT
atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan
ekonomi tidak
homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat
pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat
pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh
adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian
tambahan di sektor informal.
Masyarakat pemukiman kumuh yang warganya
beranekaragam mata pencahariannya, yang sebagian besar di antaranya adalah di
sektor informal, dan khususnya di bidang jasa pelayanan, telah memungkinkan
bagi warga pemukiman kumuh tersebut untuk dapat hidup sebagai sebuah komuniti
yang mandiri.
Beranekaragamnya jasa pelayanan atau diversifikasi
jasa pelayanan yang ada telah memungkinkan mereka itu dapat saling menghidupi
dalam batas-batas
tertentu.
Kegiatan-kegiatan mereka dalam sektor informal
telah menyebabkan bahwa rumah bukan hanya tempat untuk beristirahat, tidur, dan
merupakan ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi, dan keluarga, tetapi rumah
juga merupakan tempat bekerja.
Bahkan bukan hanya rumah saja tetapi juga
ruang-ruang terbuka (halaman rumah, atau lapangan terbuka) dimanfaatkan untuk
tempat kegiatan bekerja maupun untuk mempersiapkan produk-produk kerja mereka
yang disiapkan maupun digunakan sebagai tempat penyimpanan atau gudang.
2.2.
PEMBANGUNAN PEMUKIMAN DAN SDA
Sumber
daya alam dan lingkungan hidup merupakan sumber yang penting bagi kehidupan
umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumber daya alam menyediakan sesuatu
yang diperoleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
manusia, sedangkan lingkungan merupakan tempat dalam arti luas bagi manusia
dalam melakukan aktifitasnya.
Untuk
itu, pengelolaan sumber daya alam seharusnya mengacu kepada aspek konservasi
dan pelestarian lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam yang hanya
berorientasi ekonomi hanya membawa efek positif secara ekonomi tetapi
menimbulkan efek negatif bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Oleh karena
itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi tetapi juga
memperhatikan aspek etika dan sosial yang berkaitan dengan kelestarian serta
kemampuan dan daya dukung sumber daya alam.
Pembangunan
sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi acuan bagi kegiatan berbagai
sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber
daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap
terjamin. Pemanfaatan sumber daya alam seharusnya memberi kesempatan dan ruang
bagi peranserta masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan.
Peranan pemerintah
daerah sangat diperlukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
terutama dalam rangka perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan
otonomi daerah, kontrol masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang penting. Dengan demikian
hak dan kewajiban masyarakat untuk memanfaatkan dan memelihara keberlanjutan
sumber daya alam dan lingkungan harus dapat dioptimalkan. Kemiskinan akibat
krisis ekonomi juga perlu mendapat perhatian karena dapat berpotensi
mempercepat terjadinya kerusakan sumber daya alam, termasuk kerusakan hutan
lindung, pencemaran udara, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan
konservasi alam, dan sebagainya.
Meningkatnya
intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi
kadar kerusakan lingkungan di banyak tempat yang antara lain berupa pencemaran
industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan
kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan
pertanian, penangkapan ikan, dan eksploitasi hutan lindung yang mengabaikan
daya dukung dan daya tampung lingkungan.
2.3.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN SEBAGAI USAHA
MEMINIMALISIR KERUSAKAN LINGKUNGAN OLEH PEMBANGUNAN PEMUKIMAN
The World Commission On Environment and
Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan/WCED) di bawah
naungan PBB Tahun 1987 menyusun laporan yang berjudul “Our Common Future” (Hari
Depan Kita Bersama). Isi buku secara garis besar berupa pesan-pesan penting peringatan
dan keprihatinan yang mendasar dan serius kepada dunia (kita semua) yang harus
diperhatikan dan ditindaklanjuti secara serius tentang gambaran hari depan
(kehidupan) kita yang terancam (terutama generasi mendatang), jika pembangunan
tidak dijalankan secara bijaksana dan kelestarian fungsi lingkungan tidak
dijaga dengan baik.
Semua pihak diminta ikut berkomitmen, berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap masa depan (kehidupan) kita sendiri dan terutama kehidupan manusia generasi mendatang, yaitu anak-cucu kita agar kesejahteraan mereka terjamin.
Semua pihak diminta ikut berkomitmen, berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap masa depan (kehidupan) kita sendiri dan terutama kehidupan manusia generasi mendatang, yaitu anak-cucu kita agar kesejahteraan mereka terjamin.
Ancaman terjadinya pemanasan global karena efek rumah kaca dan
bocornya lapisan ozon akibat pencemaran dari aktifitas industri dan
transportasi, bencana banjir, longsor, kekeringan dan penggurunan lahan
pertanian serta kepunahan keanekaragaman hayati akibat penggundulan hutan alam,
bahaya radiasi nuklir, bahaya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali,
tingkat kemiskinan yang semakin tinggi dan kesenjangan sosial yang kian lebar
dalam suatu negara maupun antar negara, terutama negara-negara yang sedang
berkembang, semuanya telah diungkapkan secara jelas dan gamblang pada saat
itu.
Untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut ditekankan perlunya adanya kesadaran dan tindakan (aksi) nyata bersama
(kerjasama) antar berbagai pihak (kalangan) dalam suatu negara maupun antar
negara.
Tanpa adanya kesadaran dan aksi bersama
tersebut masalah tersebut tidak akan dapat diatasi, bahkan makin lama akan
semakin rumit (pelik) karena kerusakan akan semakin parah.
Membicarakan masalah pembangunan berarti juga harus sekaligus dibicarakan masalah lingkungan.
Membicarakan masalah pembangunan berarti juga harus sekaligus dibicarakan masalah lingkungan.
Tindakan atau kebijakan pembangunan
yang dijalankan oleh siapapun tanpa mengindahkan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum lingkungan yang berlaku akan berakibat tidak baik dan berdampak negatif,
bahkan berdampak sistemik (fatal), terhadap keduanya, yaitu pembangunan akan
terhenti (tidak berlanjut) dan lingkungan dengan sumberdaya alamnnya (SDA) akan
rusak berat tidak dapat dipulihkan lagi.
Oleh karena itu, diperlukan adanya rancangan kebijakan baru yang bersifat holistik dan integratif dengan memasukkan kepentingan pembangunan dan kepentingan lingkungan sekaligus serta diimplementasikan secara konsisten dan konsekwen. Pembangunan tidak sekadar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti: sandang (pakaian), pangan, papan (rumah), pendidikan, kesehatan dan energi serta lain-lain dari generasi sekarang (saat ini), tapi juga kebutuhan dari generasi mendatang (anak-cucu kita dan seterusnya) secara berkesinambungan serta peningkatan kualitas hidup (aspek ekonomi) dan kehidupan (aspek sosial) secara merata kepada semua lapisan masyarakat di semua negara dengan tetap menjaga dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan.
Oleh karena itu, diperlukan adanya rancangan kebijakan baru yang bersifat holistik dan integratif dengan memasukkan kepentingan pembangunan dan kepentingan lingkungan sekaligus serta diimplementasikan secara konsisten dan konsekwen. Pembangunan tidak sekadar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti: sandang (pakaian), pangan, papan (rumah), pendidikan, kesehatan dan energi serta lain-lain dari generasi sekarang (saat ini), tapi juga kebutuhan dari generasi mendatang (anak-cucu kita dan seterusnya) secara berkesinambungan serta peningkatan kualitas hidup (aspek ekonomi) dan kehidupan (aspek sosial) secara merata kepada semua lapisan masyarakat di semua negara dengan tetap menjaga dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan.
Konsep kebijakan yang demikian dalam buku “Our Common Future”
tersebut diberi istilah ”Pembangunan yang Berkelanjutan” (sustanaible
development).Konsep Pembangunan Berkelanjutan tersebut diharapkan dapat
dilaksanakan oleh semua negara di seluruh dunia dan menjadi komitmen mereka
dengan melibatkan semua pihak yang terkait,termasuk peran aktif masyarakat.
Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan ide awalnya digagas pada 1972
saat berlangsung KTT PBB pertama tentang pembangunan dan lingkungan di
Stockholm (Swedia), namun baru didefinisikan secara eksplisit pada tahun 1987
oleh WCED dalam buku “Our Common Future”. Diartikan Pembangunan Berkelanjutan
adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri “(sustainable
development is development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs)”.
Walaupun rumusan tentang Pembangunan Berkelanjutan tersebut sudah ada dan
diketahui, namun dalam kurun waktu 1987 sampai saat menjelang dilangsungkannya
KTT-Bumi di Rio de Jeniro, Brasil, tahun 1992, pemahaman dan interpretasi
orang (termasuk para pakar) di berbagai negara tentang istilah dan konsep
pembangunan berkelanjutan masih sangat beragam (bervariasi). Hal tersebut
terlihat dari cara masing-masing negara yang berbeda dalam menempatkan masalah
lingkungan dalam konteks program (kebijakan) pembangunannya.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia
Baru, Uni Eropa dan juga Jepang agenda program penyelamatan, pemeliharaan dan
pelestarian serta perlindungan lingkungan menjadi prioritas utama sejajar
dengan agenda program pembangunan di bidang ekonomi, politik dan pertahanan
mereka. Alokasi anggaran dan perangkat kelembagaan untuk penanganan masalah
lingkungan dan kerusakann sumberdaya alam (SDA) juga disiapkan sangat
memadai.
Adapun di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia dan beberapa
negara Asia lainnya seperti Vietnam, Pakistan, Filipina, Bangladesh dan lain-lain
serta negara-negara yang relatif masih belum berkembang seperti negara-negara
Afrika walaupun masalah lingkungan pada umumnya sudah ditangani oleh
kementerian tersendiri, namun prioritas penanganannya sering kali tidak utama.
Demikian pula dengan alokasi anggaran
dan perangkat kelembagaan yang disiapkan pada umunya sangat terbatas.
Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi negara dan sosial-ekonomi-budaya
masyarakatnya. Di negara-negara maju kondisi negaranya relatif stabil dan
kondisi sosial ekonomi masyarakatnya relatif jauh lebih baik, tingkat
pendapatan relatif tinggi, kemiskinan dan pengangguran juga relatif rendah,
sehingga sikap dan perilaku masyarakatnya relatif lebih tanggap, santun dan
peduli, aktif bahkan proaktif serta kritis terhadap masalah-masalah lingkungan
yang terjadi di sekitarnya, bahkan yang terjadi di luar negaranya.
Sebaliknya, di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan
negara-negara yang belum berkembang seperti Afrika, kondisi negara pada umumnya
tidak atau belum stabil dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya relatif
miskin, tingkat pendapatan rendah, tingkat pengangguran tinggi, sehingga sikap
dan perilaku masyarakatnya relatif kurang peduli, pasif dan cenderung
anarkistis (kurang beradab) terhadap masalah-masalah lingkungan yang terjadi di
sekitarnya, bahkan cenderung menjadi bagian dari tambah rumitnya masalah
lingkungan tersebut, seperti perambahan hutan, pemukiman kumuh di perkotaan dan
bantaran sungai dan lain-lain.
Oleh karena itu, implementasi dari kebijakan Pembangunan Berkelanjutan di
setiap negara juga sangat beragam. Rancangan kebijakan pembangunan dan
lingkungan di negara-negara yang sudah maju pada umumnya sudah baik, demikian
pula implementasinya di lapangan juga baik karena ada kemauan politik yang kuat
dari pemerintah didukung juga oleh alokasi anggaran yang memadai serta didukung
penuh oleh masyarakatnya dan semua pihak yang terkait.
Pembangunan Berkelanjutan dirancang untuk mencapai tiga tujuan (dimensi)
sekaligus, yaitu
(1)
dimensi ekonomi untuk peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan
juga pendapatan negara,
(2)
dimensi sosial untuk menjamin terciptanya rasa aman, nyaman dan damai sehingga
terwujud solidaritas sosial yang harmonis, bebas dari konflik,
(3)
dimensi ekologi untuk menjamin tetap terpeliharanya kelestarian fungsi
lingkungan dan produktivitas ekosistem.
Adapun rancangan kebijakan pembangunan
dan lingkungan di negara-negara sedang berkembang dan belum berkembang mungkin
saja sudah relatif baik, namun implementasinya di lapangan masih jauh dari
harapan atau bahkan belum sama sekali dijalankan, termasuk yang terjadi di
Indonesia
2.4.
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA
Indonesia melalui Kementerian
Lingkungan Hidup selama ini (sejak tahun 1972) sebenarnya aktif terlibat
mengikuti dan berperan serta dalam berbagai pertemuan internasional serta KTT
tentang pembangunan dan lingkungan yang diadakan oleh PBB maupun organisasi
lingkungan atau negara-negara maju lainnya, mulai dari KTT pertama PBB Tahun
1972 di Stockholm (Swedia), Forum antar negara di Nairobi (1982), KTT Bumi di
Rio de Jeniro di Brazil (1992) dan terakhir KTT Pembangunan Berkelanjutan di
Johanesburg, Afrika Selatan (2002).
Demikian juga dalam konferensi tahunan yang membahas tentang dampak perubahan iklim (COP 1 sampai COP 16) yang diselenggarakan secara bergilir di berbagai negara, Indonesia tidak pernah absen, tak terkecuali dalam konferensi tentang keanekaragaman hayati yang merupakan agenda tidak lanjut dari KTT Bumi di Rio. Beberapa hasil konferensi berupa kesepakatan (konvensi) internasional baik yang mengikat maupun yang tidak mengikat telah ditindaklanjuti (diratifikasi) oleh Indonesia menjadi Peraturan Pemerintah (PP) bahkan Intruksi Presiden (Inpres), seperti Konvensi tentang keanekaragaman hayati, pengurangan emisi karbon (CO2), pengelolaan lahan gambut dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari tingkat keaktifan dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum nasional dan internasional tentu saja Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat aktif terlibat dalam pembahasan tentang berbagai isu dan permasalahan lingkungan dan pembangunan baik skala regional maupun internasional (global). Indonesia juga termasuk yang cukup bahkan sangat tanggap dalam meratifikasi berbagai kesepakatan (konvensi maupun protocol) internasional menjadi Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri, yang dapat diartikan bahwa secara konseptual dan perangkat peraturan sudah sangat siap dan sangat memahami tentang pentingnya menjalankan strategi pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Dalam hal ini, Indonesia sejak tahun 1982 sudah mempunyai UU tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (KPPLH), agar lingkungan hidup dikelola secara arif dan bijaksana. Lima belas tahun kemudian (tahun 1997) UU tersebut direvisi menjadi UU No. 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selanjutnya, tahun 2009 (12 tahun kemudian) UU tersebut direvisi lagi menjadi UU.32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (PPLH). Ketentuan wajib AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi kegiatan usaha yang diprakirakan akan berdampak penting terhadap lingkungan hidup sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.29 Tahun 1986, yang kemudian direvisi menjadi PP No.51 Tahun 1993 serta direvisi kembali menjadi PP No.27 Tahun 1999.
Berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan ketentuan baku mutu lingkungan (BML) pada air, udara dan buangan limbah industri semua juga tersedia dalam bentuk PP maupun Keputusan Menteri (Kepmen) dan Peraturan Menteri (Permen), baik dari Menteri Lingkungan Hidup dan semua Menteri Teknis lainnya (PU, Kehutanan, Pertanian, Industri, Pertambangan dan lain-lain).
Pertanyaan kita sekarang, apakah dengan sejumlah banyak peraturan yang ada terkait dengan pengelolaan lingkungan dalam bentuk UU, PP, Kepmen, Permen bahkan sampai Perda (Gubernur maupun Bupati) kondisi lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia sejak dimulainya proses pembangunan dulu masa orde baru, Pelita I (1969) sampai orde reformasi (2001-2011). Saat ini kondisi lingkungan dan SDA kita masih terpelihara baik, atau semakin rusak parah?
Jawabannya tentu saja kita sudah tahu semua bahwa dari data yang kita miliki dan dari uraian dalam tulisan terdahulu kondisi lingkungan dan SDA kita seperti: hutan, laut, sungai, tanah, air dan udara sudah mengalami pencemaran dan perusakan dari tingkatan ringan sampai berat. Dengan demikian implementasi strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia baru di tataran konsep dan peraturan perundang-undangan, sedangkan implementasinya di lapangan belum berjalan.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah kenapa strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia yang di tataran konsep dan peraturan sudah cukup memadai tetapi dalam kenyataannya di lapangan belum atau bahkan tidak berjalan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut harus kita kenali dulu siapa saja aktor (pelaku) dan stakeholder (para pihak) yang terlibat di lapangan dalam aktivitas pembangunan tersebut.
Ambil saja contoh kasus aktual terkini adalah pengelolaan tambang batubara di Kalimantan Timur, tambang nikel di Nusa Tenggara Barat serta tambang gas Lapindo di Sidoarjo (Jawa Timur). Ketiga contoh kasus tersebut dalam beberapa bulan terakhir rame diberitakan di media massa bahwa masyarakat di sekitar kegiatan eksploitasi tambang melakukan demo kepada pemerintah dan investor menuntut ganti rugi atas keberadaan dan aktivitas para investor tersebut yang dianggap telah merugikan masyarakat, akibat terjadinya pencemaran (lingkungan), kerusakan lahan, bahkan kehilangan lahan dan rumah tempat tinggalnya akibat terendam oleh lumpur Lapindo sehingga pembangunan dalam hal ini berupa pengelolaan sumberdaya alam (tambang) tidak memberi manfaat (dampak positif) apapun kepada masyarakat, baik ekonomi, sosial maupun ekologi (lingkungan).
Bila kita simak kasus tersebut, maka aktor utama dalam hal ini adalah investor (pengusaha) sebagai pemilik modal dan pemerintah sebagai penguasa yang memberikan izin beroperasi. Di sisi lain terdapat masyarakat yang terkena dampak langsung oleh keberadaan aktifitas eksploitasi penambangan tersebut, baik positif maupun negatif. Jika proses (aktifitas) penambangan tersebut dilakukan berdasar prinsip pembangunan berkelanjutan, maka ketiga unsur yang terlibat dan terkait dalam proses penambangan tersebut, yaitu pengusaha, pemerintah dan masyarakat seharusnya sama-sama mendapatkan manfaat (dampak positif) baik secara ekonomi maupunsosial.
Dalam hal ini fakta yang terjadi di lapangan seringkali penguasa dan pengusaha selalu diuntungkan. Sebaliknya, masyarakat seringkali dirugikan atau menjadi korban. Dengan demikian, yang berlaku adalah prinsip ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, jika kondisi demikian dibiarkan maka dalam jangka panjang yang akan terjadi adalah konflik antara pengusaha-penguasa dengan masyarakat. Sementara itu, kondisi sumberdaya alam akan terus terkuras habis dan rusak.
Agar konflik sosial dan perusakan SDA tidak terjadi maka solusi yang bisa ditempuh adalah ketiga aktor dalam pembangunan tersebut, baik pengusaha maupun penguasa (pemerintah) serta masyarakat harus bertindak secara arif dan bijaksana, tunduk dan patuh pada peraturan dan perundang-undangan serta kaidah-kaidah (norma) serta hukum lingkungan yang berlaku. Pemerintah harus berperan sebagai regulator yang adil dan bijaksana, tapi juga tegas. Pengusaha harus peduli dan bertanggung jawab kepada masyarakat, sehingga terjalin komunikasi dan kebersamaan yang harmonis serta produktif antara keduanya. Demikian pula masyarakat harus berperan aktif dalam memantau jalannya pembangunan sehingga kondisi SDA dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya.
Demikian juga dalam konferensi tahunan yang membahas tentang dampak perubahan iklim (COP 1 sampai COP 16) yang diselenggarakan secara bergilir di berbagai negara, Indonesia tidak pernah absen, tak terkecuali dalam konferensi tentang keanekaragaman hayati yang merupakan agenda tidak lanjut dari KTT Bumi di Rio. Beberapa hasil konferensi berupa kesepakatan (konvensi) internasional baik yang mengikat maupun yang tidak mengikat telah ditindaklanjuti (diratifikasi) oleh Indonesia menjadi Peraturan Pemerintah (PP) bahkan Intruksi Presiden (Inpres), seperti Konvensi tentang keanekaragaman hayati, pengurangan emisi karbon (CO2), pengelolaan lahan gambut dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari tingkat keaktifan dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum nasional dan internasional tentu saja Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat aktif terlibat dalam pembahasan tentang berbagai isu dan permasalahan lingkungan dan pembangunan baik skala regional maupun internasional (global). Indonesia juga termasuk yang cukup bahkan sangat tanggap dalam meratifikasi berbagai kesepakatan (konvensi maupun protocol) internasional menjadi Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri, yang dapat diartikan bahwa secara konseptual dan perangkat peraturan sudah sangat siap dan sangat memahami tentang pentingnya menjalankan strategi pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
Dalam hal ini, Indonesia sejak tahun 1982 sudah mempunyai UU tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (KPPLH), agar lingkungan hidup dikelola secara arif dan bijaksana. Lima belas tahun kemudian (tahun 1997) UU tersebut direvisi menjadi UU No. 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selanjutnya, tahun 2009 (12 tahun kemudian) UU tersebut direvisi lagi menjadi UU.32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (PPLH). Ketentuan wajib AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi kegiatan usaha yang diprakirakan akan berdampak penting terhadap lingkungan hidup sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.29 Tahun 1986, yang kemudian direvisi menjadi PP No.51 Tahun 1993 serta direvisi kembali menjadi PP No.27 Tahun 1999.
Berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan ketentuan baku mutu lingkungan (BML) pada air, udara dan buangan limbah industri semua juga tersedia dalam bentuk PP maupun Keputusan Menteri (Kepmen) dan Peraturan Menteri (Permen), baik dari Menteri Lingkungan Hidup dan semua Menteri Teknis lainnya (PU, Kehutanan, Pertanian, Industri, Pertambangan dan lain-lain).
Pertanyaan kita sekarang, apakah dengan sejumlah banyak peraturan yang ada terkait dengan pengelolaan lingkungan dalam bentuk UU, PP, Kepmen, Permen bahkan sampai Perda (Gubernur maupun Bupati) kondisi lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia sejak dimulainya proses pembangunan dulu masa orde baru, Pelita I (1969) sampai orde reformasi (2001-2011). Saat ini kondisi lingkungan dan SDA kita masih terpelihara baik, atau semakin rusak parah?
Jawabannya tentu saja kita sudah tahu semua bahwa dari data yang kita miliki dan dari uraian dalam tulisan terdahulu kondisi lingkungan dan SDA kita seperti: hutan, laut, sungai, tanah, air dan udara sudah mengalami pencemaran dan perusakan dari tingkatan ringan sampai berat. Dengan demikian implementasi strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia baru di tataran konsep dan peraturan perundang-undangan, sedangkan implementasinya di lapangan belum berjalan.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah kenapa strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia yang di tataran konsep dan peraturan sudah cukup memadai tetapi dalam kenyataannya di lapangan belum atau bahkan tidak berjalan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut harus kita kenali dulu siapa saja aktor (pelaku) dan stakeholder (para pihak) yang terlibat di lapangan dalam aktivitas pembangunan tersebut.
Ambil saja contoh kasus aktual terkini adalah pengelolaan tambang batubara di Kalimantan Timur, tambang nikel di Nusa Tenggara Barat serta tambang gas Lapindo di Sidoarjo (Jawa Timur). Ketiga contoh kasus tersebut dalam beberapa bulan terakhir rame diberitakan di media massa bahwa masyarakat di sekitar kegiatan eksploitasi tambang melakukan demo kepada pemerintah dan investor menuntut ganti rugi atas keberadaan dan aktivitas para investor tersebut yang dianggap telah merugikan masyarakat, akibat terjadinya pencemaran (lingkungan), kerusakan lahan, bahkan kehilangan lahan dan rumah tempat tinggalnya akibat terendam oleh lumpur Lapindo sehingga pembangunan dalam hal ini berupa pengelolaan sumberdaya alam (tambang) tidak memberi manfaat (dampak positif) apapun kepada masyarakat, baik ekonomi, sosial maupun ekologi (lingkungan).
Bila kita simak kasus tersebut, maka aktor utama dalam hal ini adalah investor (pengusaha) sebagai pemilik modal dan pemerintah sebagai penguasa yang memberikan izin beroperasi. Di sisi lain terdapat masyarakat yang terkena dampak langsung oleh keberadaan aktifitas eksploitasi penambangan tersebut, baik positif maupun negatif. Jika proses (aktifitas) penambangan tersebut dilakukan berdasar prinsip pembangunan berkelanjutan, maka ketiga unsur yang terlibat dan terkait dalam proses penambangan tersebut, yaitu pengusaha, pemerintah dan masyarakat seharusnya sama-sama mendapatkan manfaat (dampak positif) baik secara ekonomi maupunsosial.
Dalam hal ini fakta yang terjadi di lapangan seringkali penguasa dan pengusaha selalu diuntungkan. Sebaliknya, masyarakat seringkali dirugikan atau menjadi korban. Dengan demikian, yang berlaku adalah prinsip ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, jika kondisi demikian dibiarkan maka dalam jangka panjang yang akan terjadi adalah konflik antara pengusaha-penguasa dengan masyarakat. Sementara itu, kondisi sumberdaya alam akan terus terkuras habis dan rusak.
Agar konflik sosial dan perusakan SDA tidak terjadi maka solusi yang bisa ditempuh adalah ketiga aktor dalam pembangunan tersebut, baik pengusaha maupun penguasa (pemerintah) serta masyarakat harus bertindak secara arif dan bijaksana, tunduk dan patuh pada peraturan dan perundang-undangan serta kaidah-kaidah (norma) serta hukum lingkungan yang berlaku. Pemerintah harus berperan sebagai regulator yang adil dan bijaksana, tapi juga tegas. Pengusaha harus peduli dan bertanggung jawab kepada masyarakat, sehingga terjalin komunikasi dan kebersamaan yang harmonis serta produktif antara keduanya. Demikian pula masyarakat harus berperan aktif dalam memantau jalannya pembangunan sehingga kondisi SDA dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya.
BAB 3
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi
sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, maka kebijakan di bidang
sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya:
1)
mengelola sumber daya
alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui
penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya
2)
memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat
3)
memelihara kawasan
konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah
tertentu
4)
mengikutsertakan
masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.
Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumber daya
alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan wilayah di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup pada
dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya alam untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan pelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan
1. Sumber Daya Alam
Mengelola sumber daya alam (SDA) dan memelihara daya dukung serta upaya
konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan sumber daya alam yang
menerapkan teknologi ramah lingkungan.
2. Lingkungan Hidup
Menyeimbangkan kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan sosial
ekonomi masyarakat dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
3. Kebersihan
Menciptakan kota yang bersih, bebas dari polusi dengan pemanfaatan
teknologi tepat guna.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunawan, Totok. Pendekatan Ekosistem Bentanglahan
Sebagai Dasar Pembangunan Wilayah Berbasis Lingkungan Di Daerah 28 April 2012IstimewaYogyakarta.http://geografi.ums.ac.id/ebook/social_education/sos_nomi_kumuh.pdf. 28 April 2012
Novitaningtyas,
Indri . Keterkaitan Kemampuan Masyarakat Dan Bentuk Mitigasi Banjir Di Kawasan
Pemukiman Kumuh. .http://eprints.undip.ac.id/6114/1/indrinovitaningtyas.pdf.
Sutjahjo, Surjono Hadi. Implementasi Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan.http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/07/09/180/Implementasi-Kebijakan-Pembangunan-Berkelanjutan. 28 April
2012
Parsudi,Suparlan.Segi Sosial Dan Ekonomi Pemukiman
Kumuhhttp://geografi.ums.ac.id/ebook/Social_Education/SOS_NOMI_KUMUH.pdf
28 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar