Rabu, 06 Maret 2013

PEMBANGUNAN PEMUKIMAN BERBASIS LINGKUNGAN DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


MAKALAH

PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP (PLH )

PEMBANGUNAN PEMUKIMAN   BERBASIS  LINGKUNGAN DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

( Solusi Untuk Mengurangi Kerusakan Lingkungan Akibat Pembangunan Pemukiman )





Disusun Oleh:
Ami Korniawati
NIM 4301411086
Pendidikan Kimia



PRODI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS METEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012






BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.           LATAR  BELAKANG MASALAH

Perkembangan kota sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduknya. Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk ini maka semakin tinggi pula kebutuhan lahan diperkotaan. Oleh karena itu, tingkat kepadatan di kawasan perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada dikawasan rural karena tingkat aktivitas penduduk diperkotaan yang cenderung lebih tinggi. Perkembangan daerah urban mengubah lahan dengan tutupan vegetasi menjadi permukaan yang kedap air dengan kapasitas penyimpanan air yang kecil atau tidak ada sama sekali. Aktivitas yang paling dominan terhadap penggunaan lahan adalah aktivitas bertempat tinggal (pemukiman). Aktivitas ini memakan lebih dari 50% dari total lahan yang ada, sehingga sekarang banyak bermunculan kawasan pemukiman dengan konsep vertikal untuk mengurangi permasalahan akan keterbatasan lahan pemukiman.
Pemanfaatan ruang diperkotaan sudah sangat padat dan sarat akan konflik kepentingan pemanfaatan lahan. Daya dukung lingkungan seluruh wilayah pun telah terancam karena saat ini lebih dari 50 persen wilayah perkotaan di Jawa diidentifikasi rawan krisis air (kekurangan air atau kebanjiran). Banjir adalah bencana akibat kesalahan manusia yang paling sering terjadi dan merata di Indonesia. Dampaknya lokal (terjadi hanya di satu kelurahan atau desa), juga lebih luas seperti bencana yang baru-baru ini terjadi yaitu di sepanjang Sungai Bengawan Solo yang menenggelamkan 8 (delapan) Kabupaten. Bencana banjir merupakan kejadian alam yang dapat terjadi setiap saat dan sering mengakibatkan kerugian jiwa, harta dan benda. Kerugian akibat banjir adalah perhitungan kerusakan bangunan, kehilangan barang berharga, hingga opportunity cost saat semua orang tidak bisa masuk kerja dan sekolah. Banjir tidak dapat dicegah, namun hanya dapat dikendalikan dan dikurangi dampak kerugian yang diakibatkannya. Berhubung datangnya relatif cepat, untuk mengurangi kerugian akibat bencana tersebut perlu dipersiapkan penanganan secara cepat dan tepat.
Pada umumnya, pembangunan lingkungan pemukiman akan menghindari kawasan yang rentan terhadap banjir. Sejalan dengan pertumbuhan kota dan permasalahan lahan, daerah perumahan baru dan pusat–pusat kegiatan komersial berkembang dan meluas ke arah daerah yang rentan banjir yang sebelumnya dihindari. Selain itu, kebutuhan lahan yang meningkat tajam, tentunya mempengaruhi harga lahan di perkotaan. Bagi masyarakat yang mampu, hal ini bukanlah sebuah permasalahan pelik, namun masyarakat kota tidak hanya terdiri dengan masyarakat berpenghasilan menengah keatas (the have) saja, melainkan juga terdapat kaum-kaum miskin (the have not) yang juga butuh tempat tinggal. Pemenuhuan kebutuhan kaum miskin/ berpenghasilan rendah untuk bertempat tinggal mempunyai area tersendiri, dimana area tersebut mempunyai nilai lahan yang terjangkau namun tentunya dengan fasilitas dan kondisi yang seadanya bahkan cenderung ‘buruk’ yang sering disebut sebagai kawasan kumuh. Kawasan kumuh ini mempunyai permasalahan terhadap kondisi sosial ekonomi yang rendah dan degradasi lingkungan. Keadaan lingkungan yang buruk mengakibatkan suatu kawasan rawan akan bahaya dan bencana, yaitu bencana banjir, resiko kebakaran dan penyakit endemik.

1.2.                 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimakah kondisi pembangunan  pemukiman saat ini ?
2.      Adakah kaitan antara pembangunan   pemukiman dengan kelestariaan sumber daya alam ?
3.      Bagaimanakah kaitan antara pembangunan dengan sumber daya alam ?
4.      Bagaimanakah solusi untuk menangani masalah pembangunan pemukiman dalam kaitannya dengan keleatarian Sumber Daya Alam?




BAB 2
PEMBAHASAN

2.1.          DINAMIKA  PEMBANGUNAN PEMUKIMAN MASYARAKAT

Rumah dan fasilitas pemukiman yang memadai merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya sebagai manusia.Di negara-negara sedang berkembang masalah kualitas perumahan dan fasilitas pemukiman di kota-kota besar amat terasa. Ini disebabkan oleh pertambahan penduduk kota yang sangat pesat karena migrasi dan terbatasnya lahan yang diperuntukkan bagi pemukiman yang memadai.

Terbatasnya dana dalam penataan dan pengelolaan kota dalam menghadapi masalah kependudukan tersebut di atas juga telah menyebabkan fasilitas perumahan dan pemukiman menjadi terbatas dan mahal pembiayaannya. Di daerah perkotaan, warga yang paling tidak terpenuhi kebutuhan fasilitas perumahan dan pemukimannya secara memadai adalah mereka yang berpenghasilan rendah.

Abrams (1964) misalnya mengatakan bahwa pada waktu seseorang dihadapkan pada sebuah masalah mengenai pengeluaran yang harus dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, makan, berpakaian, dan pengobatan untuk kesehatan, maka yang pertama dikorbankan adalah pengeluaran untuk rumah dan tempat tinggalnya. Masalahnya bagi mereka yang berpenghasilan rendah, adalah tidak dapat mengabaikan begitu saja kebutuhan akan rumah dan tempat tinggal karena masalah ini penting dalam dan bagi kehidupan mereka, tetapi mereka juga tidak mampu untuk mengeluarkan biaya prioritas bagi pengembangan dan pemeliharaan rumah dan lingkungan pemukimannya agar layak dihuni. Semakin kecil bagian dari penghasilan yang dapat disisihkan guna pembiayaan pemeliharaan rumah dan fasilitas pemukiman, maka semakin kumuh kondisinya.

Karena itu dari berbagai pengamatan mengenai pemukiman kumuh yang ada, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri dari pemukiman kumuh adalah:
            1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan pemukiman serta penggunaan ruang ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang
mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di pemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Pemukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
a. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar.
b. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW.
c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagaisebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar.
5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak
homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat pemukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6. Sebagian besar penghuni pemukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal.

Masyarakat pemukiman kumuh yang warganya beranekaragam mata pencahariannya, yang sebagian besar di antaranya adalah di sektor informal, dan khususnya di bidang jasa pelayanan, telah memungkinkan bagi warga pemukiman kumuh tersebut untuk dapat hidup sebagai sebuah komuniti yang mandiri.
Beranekaragamnya jasa pelayanan atau diversifikasi jasa pelayanan yang ada telah memungkinkan mereka itu dapat saling menghidupi dalam batas-batas
tertentu.
Kegiatan-kegiatan mereka dalam sektor informal telah menyebabkan bahwa rumah bukan hanya tempat untuk beristirahat, tidur, dan merupakan ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi, dan keluarga, tetapi rumah juga merupakan tempat bekerja.
Bahkan bukan hanya rumah saja tetapi juga ruang-ruang terbuka (halaman rumah, atau lapangan terbuka) dimanfaatkan untuk tempat kegiatan bekerja maupun untuk mempersiapkan produk-produk kerja mereka yang disiapkan maupun digunakan sebagai tempat penyimpanan atau gudang.

2.2.           PEMBANGUNAN PEMUKIMAN DAN SDA

Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan sumber yang penting bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Sumber daya alam menyediakan sesuatu yang diperoleh dari lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sedangkan lingkungan merupakan tempat dalam arti luas bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya.
Untuk itu, pengelolaan sumber daya alam seharusnya mengacu kepada aspek konservasi dan pelestarian lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam yang hanya berorientasi ekonomi hanya membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Oleh karena itu pembangunan tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi tetapi juga memperhatikan aspek etika dan sosial yang berkaitan dengan kelestarian serta kemampuan dan daya dukung sumber daya alam.
Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin. Pemanfaatan sumber daya alam seharusnya memberi kesempatan dan ruang bagi peranserta masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan.
Peranan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam terutama dalam rangka perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah, kontrol masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang penting. Dengan demikian hak dan kewajiban masyarakat untuk memanfaatkan dan memelihara keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan harus dapat dioptimalkan. Kemiskinan akibat krisis ekonomi juga perlu mendapat perhatian karena dapat berpotensi mempercepat terjadinya kerusakan sumber daya alam, termasuk kerusakan hutan lindung, pencemaran udara, hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan konservasi alam, dan sebagainya.
Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak tempat yang antara lain berupa pencemaran industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian, penangkapan ikan, dan eksploitasi hutan lindung yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

2.3.           PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN SEBAGAI USAHA MEMINIMALISIR KERUSAKAN LINGKUNGAN OLEH PEMBANGUNAN PEMUKIMAN

The World Commission On Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan/WCED) di bawah naungan PBB Tahun 1987 menyusun laporan yang berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama). Isi buku secara garis besar berupa pesan-pesan penting peringatan dan keprihatinan yang mendasar dan serius kepada dunia (kita semua) yang harus diperhatikan dan ditindaklanjuti secara serius tentang gambaran hari depan (kehidupan) kita yang terancam (terutama generasi mendatang), jika pembangunan tidak dijalankan secara bijaksana dan kelestarian fungsi lingkungan tidak dijaga dengan baik.

Semua pihak diminta ikut berkomitmen, berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap masa depan (kehidupan) kita sendiri dan terutama kehidupan manusia generasi mendatang, yaitu anak-cucu kita agar kesejahteraan mereka terjamin.

Ancaman terjadinya pemanasan global karena efek rumah kaca dan bocornya lapisan ozon akibat pencemaran dari aktifitas industri dan transportasi, bencana banjir, longsor, kekeringan dan penggurunan lahan pertanian serta kepunahan keanekaragaman hayati akibat penggundulan hutan alam, bahaya radiasi nuklir, bahaya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, tingkat kemiskinan yang semakin tinggi dan kesenjangan sosial yang kian lebar dalam suatu negara maupun antar negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang, semuanya telah diungkapkan secara jelas dan gamblang pada saat itu.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut ditekankan perlunya adanya kesadaran dan tindakan (aksi) nyata bersama (kerjasama) antar berbagai pihak (kalangan) dalam suatu negara maupun antar negara.
Tanpa adanya kesadaran dan aksi bersama tersebut masalah tersebut tidak akan dapat diatasi, bahkan makin lama akan semakin rumit (pelik) karena kerusakan akan semakin parah.

Membicarakan masalah pembangunan berarti juga harus sekaligus dibicarakan masalah lingkungan.
Tindakan atau kebijakan pembangunan yang dijalankan oleh siapapun tanpa mengindahkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum lingkungan yang berlaku akan berakibat tidak baik dan berdampak negatif, bahkan berdampak sistemik (fatal), terhadap keduanya, yaitu pembangunan akan terhenti (tidak berlanjut) dan lingkungan dengan sumberdaya alamnnya (SDA) akan rusak berat tidak dapat dipulihkan lagi.

Oleh karena itu, diperlukan adanya rancangan kebijakan baru yang bersifat holistik dan integratif dengan memasukkan kepentingan pembangunan dan kepentingan lingkungan sekaligus serta diimplementasikan secara konsisten dan konsekwen. Pembangunan tidak sekadar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti: sandang (pakaian), pangan, papan (rumah), pendidikan, kesehatan dan energi serta lain-lain dari generasi sekarang (saat ini), tapi juga kebutuhan dari generasi mendatang (anak-cucu kita dan seterusnya) secara berkesinambungan serta peningkatan kualitas hidup (aspek ekonomi) dan kehidupan (aspek sosial) secara merata kepada semua lapisan masyarakat di semua negara dengan tetap menjaga dan memelihara kelestarian fungsi lingkungan.


Konsep kebijakan yang demikian dalam buku “Our Common Future” tersebut diberi istilah ”Pembangunan yang Berkelanjutan” (sustanaible development).Konsep Pembangunan Berkelanjutan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan oleh semua negara di seluruh dunia dan menjadi komitmen mereka dengan melibatkan semua pihak yang terkait,termasuk peran aktif masyarakat.

Implementasi Konsep Pembangunan Berkelanjutan ide awalnya digagas pada 1972 saat berlangsung KTT PBB pertama tentang pembangunan dan lingkungan di Stockholm (Swedia), namun baru didefinisikan secara eksplisit pada tahun 1987 oleh WCED dalam buku “Our Common Future”. Diartikan Pembangunan Berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri “(sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs)”.

Walaupun rumusan tentang Pembangunan Berkelanjutan tersebut sudah ada dan diketahui, namun dalam kurun waktu 1987 sampai saat menjelang dilangsungkannya KTT-Bumi  di Rio de Jeniro, Brasil, tahun 1992, pemahaman dan interpretasi orang (termasuk para pakar) di berbagai negara tentang istilah dan konsep pembangunan berkelanjutan masih sangat beragam (bervariasi). Hal tersebut terlihat dari cara masing-masing negara yang berbeda dalam menempatkan masalah lingkungan dalam konteks program (kebijakan) pembangunannya.

Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, Uni Eropa dan juga Jepang agenda program penyelamatan, pemeliharaan dan pelestarian serta perlindungan lingkungan menjadi prioritas utama sejajar dengan agenda program pembangunan di bidang ekonomi, politik dan pertahanan mereka. Alokasi anggaran dan perangkat kelembagaan untuk penanganan masalah lingkungan dan kerusakann sumberdaya alam (SDA) juga disiapkan sangat memadai.

Adapun di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya seperti Vietnam, Pakistan, Filipina, Bangladesh dan lain-lain serta negara-negara yang relatif masih belum berkembang seperti negara-negara Afrika walaupun masalah lingkungan pada umumnya sudah ditangani oleh kementerian tersendiri, namun prioritas penanganannya sering kali tidak utama.

Demikian pula dengan alokasi anggaran dan perangkat kelembagaan yang disiapkan pada umunya sangat terbatas.

Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi negara dan sosial-ekonomi-budaya masyarakatnya. Di negara-negara maju kondisi negaranya relatif stabil dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya relatif jauh lebih baik, tingkat pendapatan relatif tinggi, kemiskinan dan pengangguran juga relatif rendah, sehingga sikap dan perilaku masyarakatnya relatif lebih tanggap, santun dan peduli, aktif bahkan proaktif serta kritis terhadap masalah-masalah lingkungan yang terjadi di sekitarnya, bahkan yang terjadi di luar negaranya.

Sebaliknya, di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dan negara-negara yang belum berkembang seperti Afrika, kondisi negara pada umumnya tidak atau belum stabil dan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya relatif miskin, tingkat pendapatan rendah, tingkat pengangguran tinggi, sehingga sikap dan perilaku masyarakatnya relatif kurang peduli, pasif dan cenderung anarkistis (kurang beradab) terhadap masalah-masalah lingkungan yang terjadi di sekitarnya, bahkan cenderung menjadi bagian dari tambah rumitnya masalah lingkungan tersebut, seperti perambahan hutan, pemukiman kumuh di perkotaan dan bantaran sungai dan lain-lain.

Oleh karena itu, implementasi dari kebijakan Pembangunan Berkelanjutan di setiap negara juga sangat beragam. Rancangan kebijakan pembangunan dan lingkungan di negara-negara yang sudah maju pada umumnya sudah baik, demikian pula implementasinya di lapangan juga baik karena ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah didukung juga oleh alokasi anggaran yang memadai serta didukung penuh oleh masyarakatnya dan semua pihak yang terkait.

Pembangunan Berkelanjutan dirancang untuk mencapai tiga tujuan (dimensi) sekaligus, yaitu
(1) dimensi ekonomi untuk peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan daerah dan juga pendapatan negara,
(2) dimensi sosial untuk menjamin terciptanya rasa aman, nyaman dan damai sehingga terwujud solidaritas sosial yang harmonis, bebas dari konflik,
(3) dimensi ekologi untuk menjamin tetap terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan dan produktivitas ekosistem.


Adapun rancangan kebijakan pembangunan dan lingkungan di negara-negara sedang berkembang dan belum berkembang mungkin saja sudah relatif baik, namun implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan atau bahkan belum sama sekali dijalankan, termasuk yang terjadi di Indonesia

2.4.           PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup selama ini (sejak tahun 1972) sebenarnya aktif terlibat mengikuti dan berperan serta dalam berbagai pertemuan internasional serta KTT tentang pembangunan dan lingkungan yang diadakan oleh PBB maupun organisasi lingkungan atau negara-negara maju lainnya, mulai dari KTT pertama PBB Tahun 1972 di Stockholm (Swedia), Forum antar negara di Nairobi (1982), KTT Bumi di Rio de Jeniro di Brazil (1992) dan terakhir KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johanesburg, Afrika Selatan (2002).         

Demikian juga dalam konferensi tahunan yang membahas tentang dampak perubahan iklim (COP 1 sampai COP 16) yang diselenggarakan secara bergilir di berbagai negara, Indonesia tidak pernah absen, tak terkecuali dalam konferensi tentang keanekaragaman hayati yang merupakan agenda tidak lanjut dari KTT Bumi di Rio. Beberapa hasil konferensi berupa kesepakatan (konvensi) internasional baik yang mengikat maupun yang tidak mengikat telah ditindaklanjuti (diratifikasi) oleh Indonesia menjadi Peraturan Pemerintah (PP) bahkan Intruksi Presiden (Inpres), seperti Konvensi tentang keanekaragaman hayati, pengurangan emisi karbon (CO2), pengelolaan lahan gambut dan lain-lain.

Oleh karena itu, jika ditinjau dari tingkat keaktifan dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum nasional dan internasional tentu saja Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat aktif terlibat dalam pembahasan tentang berbagai isu dan permasalahan lingkungan dan pembangunan baik skala regional maupun internasional (global). Indonesia juga termasuk yang cukup bahkan sangat tanggap dalam meratifikasi berbagai kesepakatan (konvensi maupun protocol) internasional menjadi Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri, yang dapat diartikan bahwa secara konseptual dan perangkat peraturan sudah sangat siap dan sangat memahami tentang pentingnya menjalankan strategi pembangunan dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal ini, Indonesia sejak tahun 1982 sudah mempunyai UU tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (KPPLH), agar lingkungan hidup dikelola secara arif dan bijaksana. Lima belas tahun kemudian (tahun 1997) UU tersebut direvisi menjadi UU No. 23 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selanjutnya, tahun 2009 (12 tahun kemudian) UU tersebut direvisi lagi menjadi UU.32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (PPLH). Ketentuan wajib AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi kegiatan usaha yang diprakirakan akan berdampak penting terhadap lingkungan hidup sudah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.29 Tahun 1986, yang kemudian direvisi menjadi PP No.51 Tahun 1993 serta direvisi kembali menjadi PP No.27 Tahun 1999.      

Berbagai peraturan lainnya yang terkait dengan ketentuan baku mutu lingkungan (BML) pada air, udara dan buangan limbah industri semua juga tersedia dalam bentuk PP maupun Keputusan Menteri (Kepmen) dan Peraturan Menteri (Permen), baik dari Menteri Lingkungan Hidup dan semua Menteri Teknis lainnya (PU, Kehutanan, Pertanian, Industri, Pertambangan dan lain-lain).       

Pertanyaan kita sekarang, apakah dengan sejumlah banyak peraturan yang ada terkait dengan pengelolaan lingkungan dalam bentuk UU, PP, Kepmen, Permen bahkan sampai Perda (Gubernur maupun Bupati) kondisi lingkungan dan sumberdaya alam di Indonesia sejak dimulainya proses pembangunan dulu masa orde baru, Pelita I (1969) sampai orde reformasi (2001-2011). Saat ini kondisi lingkungan dan SDA kita masih terpelihara baik, atau semakin rusak parah?        

Jawabannya tentu saja kita sudah tahu semua bahwa dari data yang kita miliki dan dari uraian dalam tulisan terdahulu kondisi lingkungan dan SDA kita seperti: hutan, laut, sungai, tanah, air dan udara sudah mengalami pencemaran dan perusakan dari tingkatan ringan sampai berat. Dengan demikian implementasi strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia baru di tataran konsep dan peraturan perundang-undangan, sedangkan implementasinya di lapangan belum berjalan.   


Pertanyaan kita selanjutnya adalah kenapa strategi Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia yang di tataran konsep dan peraturan sudah cukup memadai tetapi dalam kenyataannya di lapangan belum atau bahkan tidak berjalan? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut harus kita kenali dulu siapa saja aktor (pelaku) dan stakeholder (para pihak) yang terlibat di lapangan dalam aktivitas pembangunan tersebut.

Ambil saja contoh kasus aktual terkini adalah pengelolaan tambang batubara di Kalimantan Timur, tambang nikel di Nusa Tenggara Barat serta tambang gas Lapindo di Sidoarjo (Jawa Timur). Ketiga contoh kasus tersebut dalam beberapa bulan terakhir rame diberitakan di media massa bahwa masyarakat di sekitar kegiatan eksploitasi tambang melakukan demo kepada pemerintah dan investor menuntut ganti rugi atas keberadaan dan aktivitas para investor tersebut yang dianggap telah merugikan masyarakat, akibat terjadinya pencemaran (lingkungan), kerusakan lahan, bahkan kehilangan lahan dan rumah tempat tinggalnya akibat terendam oleh lumpur Lapindo sehingga pembangunan dalam hal ini berupa pengelolaan sumberdaya alam (tambang) tidak memberi manfaat (dampak positif) apapun kepada masyarakat, baik ekonomi, sosial maupun ekologi (lingkungan).    

Bila kita simak kasus tersebut, maka aktor utama dalam hal ini adalah investor (pengusaha) sebagai pemilik modal dan pemerintah sebagai penguasa yang memberikan izin beroperasi. Di sisi lain terdapat masyarakat yang terkena dampak langsung oleh keberadaan aktifitas eksploitasi penambangan tersebut, baik positif maupun negatif. Jika proses (aktifitas) penambangan tersebut dilakukan berdasar prinsip pembangunan berkelanjutan, maka ketiga unsur yang terlibat dan terkait dalam proses penambangan tersebut, yaitu pengusaha, pemerintah dan masyarakat seharusnya sama-sama mendapatkan manfaat (dampak positif) baik secara ekonomi maupunsosial.

Dalam hal ini fakta yang terjadi di lapangan seringkali penguasa dan pengusaha selalu diuntungkan. Sebaliknya, masyarakat seringkali dirugikan atau menjadi korban. Dengan demikian, yang berlaku adalah prinsip ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, jika kondisi demikian dibiarkan maka dalam jangka panjang yang akan terjadi adalah konflik antara pengusaha-penguasa dengan masyarakat. Sementara itu, kondisi sumberdaya alam akan terus terkuras habis dan rusak.    

Agar konflik sosial dan perusakan SDA tidak terjadi maka solusi yang bisa ditempuh adalah ketiga aktor dalam pembangunan tersebut, baik pengusaha maupun penguasa (pemerintah) serta masyarakat harus bertindak secara arif dan bijaksana, tunduk dan patuh pada peraturan dan perundang-undangan serta kaidah-kaidah (norma) serta hukum lingkungan yang berlaku. Pemerintah harus berperan sebagai regulator yang adil dan bijaksana, tapi juga tegas. Pengusaha harus peduli dan bertanggung jawab kepada masyarakat, sehingga terjalin komunikasi dan kebersamaan yang harmonis serta produktif antara keduanya. Demikian pula masyarakat harus berperan aktif dalam memantau jalannya pembangunan sehingga kondisi SDA dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya. 



BAB 3
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Dengan memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, maka kebijakan di bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup ditujukan pada upaya:
1)     mengelola sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya
2)      memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat
3)     memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu
4)     mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.

Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan wilayah di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan
1. Sumber Daya Alam
Mengelola sumber daya alam (SDA) dan memelihara daya dukung serta upaya konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan sumber daya alam yang menerapkan teknologi ramah lingkungan.
2. Lingkungan Hidup
Menyeimbangkan kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat dalam konteks pembangunan berkelanjutan.
3. Kebersihan
Menciptakan kota yang bersih, bebas dari polusi dengan pemanfaatan teknologi tepat guna.






DAFTAR PUSTAKA
        Gunawan, Totok. Pendekatan Ekosistem Bentanglahan Sebagai Dasar Pembangunan Wilayah Berbasis Lingkungan Di Daerah 28 April 2012IstimewaYogyakarta.http://geografi.ums.ac.id/ebook/social_education/sos_nomi_kumuh.pdf. 28 April 2012                                                                                      
Novitaningtyas, Indri . Keterkaitan Kemampuan Masyarakat Dan Bentuk Mitigasi Banjir Di Kawasan Pemukiman Kumuh. .http://eprints.undip.ac.id/6114/1/indrinovitaningtyas.pdf.  

Sutjahjo, Surjono Hadi. Implementasi Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan.http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/07/09/180/Implementasi-Kebijakan-Pembangunan-Berkelanjutan. 28 April 2012
Parsudi,Suparlan.Segi Sosial Dan Ekonomi Pemukiman Kumuhhttp://geografi.ums.ac.id/ebook/Social_Education/SOS_NOMI_KUMUH.pdf
28 April 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar