Sejak
zaman dahulu orang sudah mengenal bahwa berbagai zat dapat dihasilkan dari
makhluk hidup. Bangsa
Mesir Kuno sudah mengenal formalin, suatu zat pengawet yang dihasilkan oleh
semut. Bangsa Mesopotamia juga sudah mengenal zat-zat pewarna dari hewan Mollusca.
Pada tahun 1780, seorang bernama Karl Wilhelm Scheele (1742
– 1786) membedakan senyawa-senyawa menjadi dua kelompok, yaitu:
- Senyawa organik, adalah senyawa yang dihasilkan oleh makhluk hidup.
- Senyawa anorganik, adalah senyawa yang dihasilkan oleh benda mati.
Sementara
itu pada tahun 1807, Jons Jacob Berzelius (1779
– 1848) menyatakan teori vis
vitalis, yaitu bahwa senyawa-senyawa organik
hanya dapat dibuat di dalam tubuh makhluk hidup dengan bantuan daya hidup (vis vitalis),
sehingga menurutnya tidak mungkin senyawa organik dibuat di laboratorium dengan
menggunakan bahan senyawa anorganik.
Hingga
abad ke-19, kedua teori tersebut masih terus dipegang karena belum pernah ada
senyawa organik yang dibuat di laboratorium. Sampai kemudian Friederich
Wohler (1800 – 1882) yang juga murid Berzelius
berhasil menumbangkan teori sebelumnya, setelah dia berhasil menyintesis
senyawa organik.
Senyawa
tersebut adalah urea (yang biasa dihasilkan dari urine makhluk hidup) dengan
menggunakan zat anorganik, yaitu dengan mereaksikan perak sianat dengan amonium
klorida membentuk amonium sianat.
AgOCN + NH4Cl →NH4OCN + AgCl
Ternyata
ketika amonium sianat diuapkan untuk memperoleh kristalnya, pada pemanasan yang
terlalu lama, amonium sianat berubah menjadi urea.
NH4OCN→(NH2)2CO
Sejak saat
itulah banyak disintesis zat-zat organik menggunakan zat-zat anorganik di laboratorium. Dengan
keberhasilan Wohler menyintesis urea dari amonium sianat, para ahli kemudian
membedakan senyawa karbon menjadi senyawa karbon organik dan senyawa karbon
anorganik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar